Tak ada manusia yang tak pernah marah. Marah adalah salah satu rasa yang mutlak ada pada diri manusia berdampingan dengan rasa yang lain. Setidaknya hal itu membuktikan bahwa orang itu bukanlah robot yang tak punya perasaan. Namun, rasa marah bisa berubah mengerikan bila tak terkendali. Tak heran jika berita-berita kriminal dipenuhi oleh kasus pembunuhan akibat amarah yang memuncak.
Sebagian orang sepakat bahwa menyalurkan amarah yang terpendam lebih sehat dibanding memendamnya. Teori ini bermula dari Aristoteles, seorang filsafat Yunani yang mengatakan bahwa menonton sandiwara tragis berpeluang memunculkan katarsis (peluapan kemarahan dan emosi negatif yang memberikan efek memuaskan). Sigmund Freud, seorang pendukung katarsis juga percaya bahwa kemarahan yang dipendam akan menumpuk seperti uap dalam panci bertekanan tinggi dan bisa berujung pada gangguan psikologis seperti histeria atau keagresifan. Sehingga menurut Freud, cara pengobatannya adalah dengan mengurangi tekanan perasaan negatif seperti membicarakan atau menyalurkannya secara terkendali.
Tokoh Bruce Banner dalm film The Hulk dan Garaa dalam anime Naruto adalah perumpamaan yang memperlihatkan akibat dari kegagalan mengendalikan amarah. Bruce Banner akan berubah menjadi monster hijau saat kemarahannya meluap dan Garaa yang berubah jadi monster pasir jika sedang marah atau ingin membunuh. Buku-buku motivasi pun sering menyarankan untuk menyalurkan amarah dengan berteriak sekendang-kencangnya, memukul bantal atau menghancurkan barang-barang bekas daripada memendamnya.
Tetapi, benarkah menyalurkan kemarahan adalah cara yang aman dan sehat ? Untuk menjawabnya, mari kita perhatikan sebuah tragedi yang terjadi pada tanggal 20 Agustus 1989 di Oklahoma. Sebuah kejadian yang disebut-sebut sebagai salah satu pembunuhan massal paling mengerikan dalam sejarah Amerika. Hari itu, seorang pria bernama Patrick Henry Sherrill yang murka karena dipecat dari pekerjaannya sebagai pegawai pos, membabi buta menembakkan dua senjata yang disembunyikan dalam tas suratnya. Kegilaannya mengakibatkan 14 pegawai terbunuh dan 6 lainnya terluka. Sesaat setelah itu, Sherrill mengakhiri sendiri hidupnya di Kantor pos tersebut. Jadi, apa gunanya kita melampiaskan kemarahan ? Sebagian menjawab bahwa setelah menyalurkannya, perasaan mereka sedikit lebih baik. Padahal faktanya, kemarahan itu bisa hilang dengan sendirinya. Lagipula, berdasarkan kisah Sherrill di atas, setelah membunuh 14 orang dan melukai 6 lainnya, apakah ia akan merasa lebih baik atau lebih buruk dibanding sebelum menembaki mereka ?
Sementara itu, berbagai studi yang dilakukan selama lebih dari 40 tahun juga mengungkapkan bahwa mendorong seseorang mengekspresikan kemarahannya secara langsung maupun tidak langsung justru meningkatkan keagresifan. Ibarat api yang berusaha dipadamkan dengan menyiram bensin, menyalurkan kemarahan tidak akan meredakan kemarahan kita, tetapi justru membuatnya semakin besar. Ekspresi kemarahan hanya akan bermanfaat jika disertai penyelesaian masalah yang bersifat membangun.
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan ? Rasulullah pernah berpesan bahwa, “Orang yang kuat itu bukanlah orang yang mampu berkelahi, tetapi orang yang mampu mengendalikan nafsunya tatkala marah.” (HR. Bukahri dan Muslim). Kuncinya adalah bersabar. Mungkin terdengar klise, tapi siapapun yang pernah melewatinya, akan merasakan manfaatnya.
Pada saat pertama kali menahan marah, beban yang dipikul mungkin berjumlah 100%, tetapi pada kali kedua, beban tersebut akan berkurang menjadi 90% lalu menjadi 80%. Begitulah seterusnya setiap kali kita berusaha untuk bersabar. Dengan begitu, cepat atau lambat kita akan menjadi terbiasa. Sabar bukanlah sifat turunan. Tetapi ia adalah hasil dari latihan yang terus menerus. Dan sabar itu adalah saat goncangan pertama. Jadi bukanlah disebut sabar jika semua piring dan gelas di dapur telah hancur lalu kemudian kita berkata, “Baiklah, saya bersabar”. Sebagai penutup, sabar itu tidak ada batasnya selama kita tidak membatasi diri.(hdyh)
Comments
Post a Comment